Toko Pasutri

11/06/2012

Satpam Pun Ikut 'Pelototi' Pasien Narkoba


Mengobati pasien ketergantungan obat memang tidak mudah. Sampai-sampai satpam pun harus ikut mengawasi pasien terapi yang sedang minum metadon. Jika tak diawasi, bisa-bisa cairan metadon yang harus diminum dibawa pulang si pasien dan rentan terjadi penyalahgunaan.

Pemandangan seperti itu terlihat setiap hari di klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), Rumah Sakit Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan.

Seorang pria muda berkaos coklat datang untuk mengambil jatah metadonnya. Program yang disebut juga Methadone Maintenance Threatment (MMT) ini memang diperuntukkan bagi pecandu narkotika yang sama sekali tidak bisa lepas dari ketergantungan. Tujuannya adalah membuat pasien tersebut terhindar dari sakaw, sehingga bisa tetap produktif.

Usai mengisi formulir, si pria menuju loket apoteker dan lalu diberi segelas kecil cairan metadon. Cairan metadon itu wajib diminum saat itu juga. Saat menenggak metadon, berdiri seorang satpam yang terus mengawasinya.

"Pernah ada yang pura-pura minum, tetapi saat petugas lengah ternyata metadon dimasukkan plastik dibawa pulang," ungkap Koordinator PTRM RS Fatmawati, Dr. Rahmi Handayani Sp.K.J, yang diwawancarai detikHealth di kantornya.

Pengawasan ketat dilakukan karena metadon dan juga narkotika lainnya sangat rawan oleh penyalahgunaan. Distribusi dan penggunaannya juga harus dilaporkan ke pemerintah.

Metadon diberikan dalam bentuk cair yang bisa diminum, sehingga bebas risiko penularan HIV/AIDS dan hepatitis. Sedangkan pada pemakaian narkotika ilegal, 70 persen dilakukan dengan jarum suntik.

Pengguna narkoba yang melakukan terapi metadon diberikan sebagai pengganti narkotika. Senyawa tersebut memang merupakan tiruan narkotika, dengan sifat yang hampir serupa hanya saja efeknya tidak sampai menyebabkan teler.

Tidak semua pecandu bisa menjadi pasien PTRM, sebab ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya, pasien tersebut sudah pernah menjalani rehabilitasi maupun detoksifikasi namun tidak berhasil lepas dari ketergantungan.

Perkembangan PTRM di RS Fatmawati

Keberadaan PTRM di RS Fatmawati dimulai sejak tahun 2003, ketika masih berada satu lokasi dengan RS Ketergantungan Obat (RSKO). Rumah sakit lain pada masa itu yang memiliki PTRM hanya RS Sanglah, Bali.

Setelah RSKO dipindah untuk menempati lahan di Cibubur tahun 2007, program tersebut diambil alih oleh RS Fatmawati. Tak hanya mengelola PTRM-nya sendiri, RS Fatmawati juga membina satelit PTRM di beberapa puskesmas.

Di wilayah DKI Jakarta sendiri, satelit PTRM binaan RS Fatmawati terdapat di Grogol Petamburan, Senen dan Kramat Jati. Sedangkan di wilayah Banten, 4 satelit yang dibina berada di wilayah Cibodasari, Cipondoh, Jl. Emas dan Lapas Pemuda Kelas II Tangerang.

"Jumlah satelit akan terus bertambah, untuk memudahkan pasien dalam mengakses layanan. Bulan ini kami dipercaya untuk membina satelit di Puskesmas Johar Baru dan RSUD Koja," ungkap Dr. Rahmi.

Selain PTRM, RS Fatmawati juga mengelola sejumlah layanan lain untuk pasien ketergantungan obat. Di antaranya adalah klinik kejiwaan, serta klinik Wijayakusuma untuk pengidap HIV/AIDS.

Pecandu narkotika yang masih tergolong ringan diarahkan untuk menjalani rehabilitasi secara kejiwaan, agar bisa bebas secara total dari ketergantungan. Demikian juga pecandu psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Sedangkan klinik wijayakusuma juga melayani pecandu, khususnya yang tertular HIV/AIDS. Dikatakan oleh Dr. Rahmi, 70 persen pengguna narkotika menggunakan jarim suntik, sehingga banyak yang tertular virus HIV/AIDS maupun hepatitis.

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, pada bulan Mei 2010 tercatat 2.222 pasien ketergantungan obat yang menjalankan PTRM. Dari angka tersebut, jumlah terbanyak terdapat di RS Fatmawati, yakni 168 pasien.

Namun secara umum, menurut Dr. Rahmi angka tersebut menurun dibandingkan beberapa tahun lalu. Di samping jumlah pengguna baru yang menurutnya memang lebih sedikit, keberadaan banyak satelit membuat pasien kini tidak terkonsentrasi di RS Fatmawati saja.

"Sekitar tahun 2007-2008 merupakan puncak, saat itu kami menangani hingga 240-an pasien setiap hari," kata Dr. Rahmi.

Menurutnya, kontrol yang makin ketat dari pemerintah membuat jumlah pengguna baru obat terlarang relatif turun. Namun ia menyayangkan tidak ada data tentang keberhasilan program-program penanggulangan ketergantungan obat.

"Banyak yang berhasil menghentikan ketergantungan, tetapi tidak pernah terdata berapa banyak yang kemudian kambuh lagi setelah meninggalkan klinik-klinik rehabilitasi," sesal Dr. Rahmi.

Diakui Dr Rahmi banyak di antara pasien yang sembuh, tetapi kambuh lagi setelah kembali ke lingkungannya. Namun jika semua orang berpikir seperti itu, maka tidak akan ada upaya untuk menekan tingkat penyalahgunaan obat. Oleh karenanya ia merasa terpanggil untuk menangani bidang itu di RS Fatmawati. Sumber.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Narkoba. Info Seputar Ibu Hamil, Anak, Bayi dan Balita...